Sabtu, 02 Januari 2016

Nilai-Nilai Kepemimpinan Dalam Islam



Tugas Mandiri                                                                       Dosen Pembimbing
Etika Kepemimpinan Islam                                                 Bpk. Khoiruddin


“Nilai-Nilai Kepemimpinan Dalam Islam”







Disusun Oleh:

NAMA        : SUTRISNO
NIM            : 11344103564


JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2015 M / 1437 H




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Kepemimpinan mengacu pada suatu proses untuk menggerakkan sekumpulan manusia menuju ke suatu tujuan yang telah ditetapkan dengan mendorong mereka bertindak dengan cara yang tidak memaksa. Kepemimpinan yang baik menggerakkan manusia ke arah jangka panjang, yang betul-betul merupakan kepentingan mereka yang terbaik. Arah tersebut bisa bersifat umum, seperti penyebaran Islam ke seluruh dunia, atau khusus seperti mengadakan konferensi mengenai isu tertentu. Walau bagaimanapun, cara dan hasilnya haruslah memenuhi kepentingan terbaik orang-orang yang terlibat dalam pengertian jangka panjang yang nyata.
Kepemimpinan adalah suatu peranan dan juga merupakan suatu proses untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin adalah anggota dari suatu perkumpulan yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat bertindak sesuai dengan kedudukannya. Seorang pemimpin adalah juga seorang dalam suatu perkumpulan yang diharapkan menggunakan pengaruhnya dalam mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok. Pemimpin yang jujur ialah seorang yang memimpin dan bukan seorang yang menggunakan kedudukannya untuk memimpin.
Fenomena kepemimpinan dapat dijelaskan melalui konsep-konsep dasar berikut:
1.        Kepemimpinan adalah suatu daya yang mengalir dengan cara yang tidak diketahui antara pemimpin dengan pengikutnya, mendorong para pengikut supaya mengerahkan tenaga secara teratur menuju sasaran yang dirumuskan bersama. Bekerja menuju sasaran dan pencapaiannya memberikan kepuasan bagi pemimpin dan pengikutnya.
2.        Kepemimpinan juga mewarnai dan diwarnai oleh media, lingkungan, dan iklim di mana dia berfungsi. Kepemimpinan tidak bekerja dalam ruangan yang hampa, tetapi suasana yang diciptakan oleh berbagai unsur.
3.        Kepemimpinan senantiasa aktif, bisa saja berubah-ubah derajatnya, intensitasnya dan keluasannya. Bersifat dinamis atau tidak ada.
4.        Kepemimpinan bekerja menurut, prinsip, alat dan metode yang pasti dan tetap.

B.     Rumusan Masalah
Apa Saja Nila-nilai kepemimpinan Didalam Islam yang Mencakup Prinsip-prinsip Etika yang Harus Dilaksanakan oleh Seorang Pemimpin dalam Kepemimpinannya

C.    Tujuan Masalah
Untuk Mengetahui Nila-nilai Islam Apa yang Harus ditanamkan Didalam Kepemimpinan


















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Nilai-nilai Kepemimpinan dalam Islam
Dalam literatur-literatur manajemen banyak dibentangkan prinsip-prinsip pokok yang mendasari perilaku keseharian dari para pemimpin yang dipandang sukses dalam me-manage organisasi mereka. Prinsip-prinsip itu antara lain seperti; seorang pemimpin  harus cerdas, memiliki visi yang jelas, penuh inisiatif, rela berkorban, bertanggung jawab, percaya diri, tanggap, empati, inovatif, toleran, sederhana, dan seterusnya.
Di dalam Islam, prinsip-prinsip ini sangat dianjurkan untuk dimiliki setiap muslim. Sebab tanpa prinsip-prinsip tersebut, umat islam tidak bisa menjadi  wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam jagad ini secara baik, sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang muttaqin. Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak dapat diraih oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki prinsip-prinsip tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip-prinsip itu dapat kita temukan, baik secara tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan hadis. Nilai/prinsip yang  termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara lain sebagai berikut:
  1. Cerdas
Cerdas atau mampu merupakan suatu prinsip/nilai yang dalam Islam menempati posisi yang sangat penting sekaligus mendapat apresiasi yang sangat tinggi. Prinsip ini demikian penting dan tinggi karena urgensinya secara fundamental meliputi semua ranah kehidupan manusia. Manusia tidak akan sukses meraih apa yang ia inginkan manakala ia tidak cerdas dan mampu mengelolanya secara baik.
Dalam Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ (33)
Artinya :
Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan”(QS. Al-Rahman (55): 33).
Ayat diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang dipikirkan dan dibayangkan dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi kenyataan, asalkan manusia memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan). Kemampuan merupakan kriteria dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta mengembangkan organisasi/institusi. Kemampuan oleh para ahli dapat diklasifikasi menjadi 3 (tiga) jenis.[1] Kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual. Ketiga kemampuan ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin di setiap level kepemimpinan. Ia harus mempunyai akal dan pikiran yang cerdas, karena dengan itu ia bisa merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan organisasi secara rasional, tidak menghayal dan membabi buta dalam membuat police atau kebijakan. Dengan berfikir rasional, seorang pemimpin dapat membuat prediksi-prediksi yang visible, sehingga  dapat dijadikan dasar dalam bertindak.
Mengandalkan kemampuan intelektual saja bagi seorang pemimpin/manajer tidak akan cukup untuk membawa lembaga/organisasi mencapai kesuksesan. Mengapa demikian ?. Hal ini disebabkan suatu kesuksesan yang diperoleh bukan sekedar karena manajer atau pemimpin mampu menata serta mengembangkan aspek-aspek organisasi tertentu secara rasional, seperti membuat prediksi, ramalan-ramalan, dan prakiraan-prakiraan. Namun lebih dari itu, ada aspek-aspek organisasional tertentu yang membutuhkan penanganan dengan sentuhan-sentuhan emosi, seperti memotivasi bawahan/karyawan, memunculkan rasa memiliki dan rasa bertanggung jawab terhadap organisasi (sens of belonging and sens of responsibility), membuat kebijakan-kebijakan simpatik, baik terhadap anggota organisasi maupun bagi masyarakat lingkungan sebagai stakeholder. Banyak pemimpin yang gagal mengeksplorasi aspek-aspek emosi ini, yang kemudian berakibat pada demonstrasi dan unjuk rasa karyawan yang tidak menguntungkan bahkan berakibat fatal bagi keberadaan serta keberlangsungan organisasi. Semua manajer/pemimpin tidak menghendaki kejadian seperti itu terjadi dan dialami organisasi yang mereka pimpin, jika saja mereka mau mengembangkan kemampuan atau kecerdasan emosionalnya bersamaan dengan kemampuan intelektual dalam kepemimpinan mereka.
Sama halnya dengan kemampuan spiritual, sebahagian orang sangat menaruh harapan besar terhadap kemampuan ini. Bahwa bila sikap spiritual seseorang muncul, seperti senantiasa mendekatkan diri kepada tuhan, selalu bertawakal kepada-Nya, bertindak dan berbuat karena tuhan, menganggap semua sarwa yang ada adalah milik tuhan serta sadar bahwa  pada saatnya nanti semua pekerjaan yang dilakukan pasti akan  dimintai pertanggung jawabannya kelak dihadapan tuhan. Kesadaran seperti ini  dapat memunculkan perilaku yang positif, seperti berprasangka baik, selalu berbuat yang terbaik, optimis, rela berkorban, iklas dalam menjalankan tugas, kesederhanaan, arif dalam bertindak, humanis, memiliki komitmen yang tinggi, menghargai orang lain, dan seterusnya. Sikap-sikap ini merupakan representasi dari kualitas iman yang dimiliki seseorang.
Orang yang beriman atau kemampuan spiritualnya baik, senantiasa merasa berkewajiban untuk mengawal dirinya dari pekerjaan-pekerjaan yang tidak berguna, apalagi yang bertentangan dengan pesan-pesan agama. Mereka beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan demikian dapat menjauhkan dirinya dari rahmat dan kasih sayang tuhan. Karena itu, kecerdasan spirituallah yang harus memberi arah (visi) bagi  kecerdasan intelektual dan emosional seseorang. Jarang orang mempunyai kemampuan/kecerdasan emosional dapat mendorong lahirnya kemampuan/kecerdasan spiritual yang baik. Meskipun begitu, kemampuan spiritual tidak bisa mewakili kemampuan emosional, sebab ada perilaku emosional tertentu seperti kemampuan menjalin hubungan, mampu berkomunikasi secara baik, dan kemampuan memotivasi, tidak sepenuhnya akan diperoleh secara baik dari kemampuan spiritual.
Mengandalkan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup, khususnya bagi perkembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan. Sebab kecerdasan ini lebih berpusat hanya pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara ada dimensi lain yang tidak kalah penting bagi manusia yang bersifat vertikal. Kemampuan dalam membangun hubungan vertikal inilah yang sering dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient).[2]
Dalam Alquran dikatakan: “kamu akan ditimpa kehinaan dimana saja kamu berada, kecuali kamu menjalin hubungan secara Vertikal dengan Allah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia”. (QS. Al-Imran (3): 112).
Oleh karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual secara simultan harus dimiliki seorang pemimpin, karena ketiga bentuk kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan melengkapi dalam proses  keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa organisasi mencapai tujuan.
Penelitian menunjukkan menurut Agus Ngermanto, bahwa persentase kemampuan kognitif murni (intelektual) yang membuat unggul orang-orang dengan kinerja terbaik hanya  mencapai 27 persen, sementara keunggulan emosi mencapai 53 persen.[3] Artinya kecakapan emosional sumbangannya dua kali lipat  energinya dari kecakapan intelektual. Sehingga keunggulan dan keberhasilan seorang manajer atau pemimpin 80 persen ditentukan oleh emosi serta kognitifnya. Bila demikian, berarti keberhasilan pekerjaan seseorang yang bintang kinerja baru mencapai titik angka 80. Untuk memenuhi titik sempurna 100 persen mungkin saja harus ditambah dengan kecakapan spiritual sebagaimana disebutkan diatas.
Tiga kemampuan ini berada pada otak manusia, seperti Neocortex (otak rasional) dan Sistem Limbic (otak emosional), serta eksistensi GodSpot(pusat spiritual) yang baru ditemukan tahun 1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University.[4] Keberdayaan tiga potensi otak ini secara baik  dapat melahirkan manajer atau pemimpin-pemimpin yang efektif.
2.      Visioner
Visi merupakan konsep imajinasi seseorang atau beberapa orang pemimpin tentang masa depan dari suatu organisas/lembaga yang dipimpin. Akan seperti apakah lembaga yang dipimpinnya dimasa yang akan datang. Karena itu, kewajiban utama seorang pemimpin/manajer adalah bagaimana memperjuangkan serta mempertahankan visinya agar bisa tercapai. Kemampuan mempertahankan serta memperjuangkan visi ini sama seperti dalam Islam, seseorang yang telah berikrar  beriman hanya kepada Allah tidak kepada selain-Nya (laa ilaha illallah), tanpa mengenal ruang dan waktu. Dimana dan kapan saja iman ini harus tetap menjadi landasan semua aktivitas. Iman merupakan visi yang senantiasa harus dipertahankan dan diperjuangkan. Iman yang benar dan kokoh akan menjadi dasar untuk menggapai kebahagiaan (keberhasilan). Seseorang yang beriman hanya kepada Allah tidak akan mudah terpengaruh pada kepentingan-kepentingan sesaat (vested interest) yang menggiurkan namun berdemensi pendek. Seperti dilansir pada QS. An-Nisaa’(4): 137  (innallazina a’manuu tsumma kafaruu, tsumma a’manuu tsumma kafaruu tsumma zdadu kufran). Ia beriman kepada Allah kemudian ingkar (tidak commmitted dengan visinya), beriman lagi, kemudian kafir lagi, sehingga komitmennya mengalami proses degradasi dan berakhir dengan penyimpangan dari substansi visi yang ia emban. Komitmen seperti ini merupakan awal dari sebuah kehancuran. Dalam Alquran dikatakan: Sesungguhnya orang-orang yang berkata (berprinsip/mempunyai visi) bahwa tuhan pemelihara kami adalah Allah, kemudian istiqamah (committed) dengan prinsip (visi) itu akan turun kepada mereka malaikat dengan berkata) janganlah takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian dengan syurga yang dijanjikan” (QS. Fushshilat (41): 30).
Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang baik dan menunjukkan komitmennya (visioner) sebagaimana Islam menuntut agar umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman yang benar “mukhlishina lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5). Karena dengan demikian ia akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
3.      Inisiatif
Inisiatif merupakan salah satu prinsip penting yang harus dimiliki oleh pemimpin/manajer. Pemimpin yang tidak memiliki inisiatif akan membuat organisasi menjadi mandek serta tidak berkembang apalagi ingin ada perubahan, harapan agar organisasi bertumbuh sesuai dengan perkembangan tidak akan tercapai, sekalipun lingkungan (stakeholder) menghendaki.
Prinsip ini bermula dari pemimpin/manajer tidak mempunyai gagasan terkait dengan tuntutan serta perkembangan situasi dalam mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan lingkungan . Dalam Alquran Allah mengatakan: “Apabila kamu telah usai (melakukan suatu tugas), maka  kerjakanlah dengan sungguh-sungguh tugas/pekerjaan)berikutnya”. (QS. Al-Insyirah (94): 7).
Ayat ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa seorang pemimpin tidak boleh hanya terjebak dalam satu tugas rutinitas saja yang menyita hampir semua waktu/masa tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif harus mampu memunculkan inisiatifnya dalam mendorong dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat bersaing dan berkompetisi dengan organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya. Dengan memiliki kemampuan demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak akan tertinggal dalam merespons tuntutan perkembangan.
4.      Rela Berkorban
Manajer/pemimpin yang baik/efektif senantiasa harus mengedepankan sikaf rela berkorban. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu memberi harapan bagi lingkungannya bahwa ia dan organisasinya akan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya serta memenuhi hak-hak, baik itu hak-hak  bawahan/karyawan, hak mereka yang dilayani (pelanggan) maupun hak-hak sosial sebagai bentuk komitmen menyeluruh atas keberpihakannya terhadap lingkungan organisasi. Tipe kepemimpinan seperti ini oleh Andy Kirana disebut kepemimpinan etis.[5]
Pemimpin yang beretika selalu menampilkan i’tikad baik dan tidak serakah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Kualitas kepemimpinannya membuat bawahan atau pengikutnya senang dan menaruh harapan masa depan. Pemimpin dengan kepribadian seperti ini tidak akan tertipu dengan kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Bahkan ia akan rela mengorbankan apa yang dimilikinya sekalipun nyawa taruhannya.
Prinsip ini banyak menghiasi hidup keseharian Rasulullah saw. serta para sahabatnya. Mereka selalu rela mengorbankan apa yang ada pada diri mereka, sekalipun apa yang diberikan itu sesuatu yang sangat mereka senangi. Manajer/pemimpin demikian selalu memandang bahwa hidup ini adalah perjuangan dan pengabdian. Dalam Alquran Allah berfirman “wa jaahidu bi amwaalikum wa anfusikum fi sabilillah” (Berjuanglah dengan harta dan dirimu dijalan Allah)(QS At-Taubah (9) :41).
5.      Bertanggung Jawab
Bertanggung jawab merupakan prinsip yang melekat pada diri seorang manajer/pimpinan setelah ia memangku suatu jabatan. Pimpinan yang tidak bertanggung jawab berarti ia tidak menjalankan satu syarat penting sebagai manajer/pimpinan, yaitu melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari atasan /pimpinan yang lebih tinggi. Pelimpahan wewenang (delegasi) terdiri dari tiga unsur yaitu; kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility), dan pertanggung jawaban (accountability).[6]
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya ( Riwayat Bukhari dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip ini untuk memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab (memberi laporan) kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan, masyarakat, pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan pencipta alam semesta.
6.      Percaya Diri
Percaya diri merupakan prinsip yang harus dimiliki pemimpin setelah  memiliki inisiatif. Bila pemimpin tidak percaya diri maka inisiatifnya tidak bakal terlaksana. Ia tidak yakin akan kemampuan dirinya, sekalipun kapasitasnya sebagai pemimpin. Visi/ide-idenya akan tenggelam dalam bayang-bayang ketidakpercayaan dirinya.
Prinsip percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana seorang pemimpin merasa pahit getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar pengalaman yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial dan kemasyarakatan. Dengan mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara langsung, ia akan melakukan proses trial and error. Karena itu seorang manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga harus menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan kadar iman seseorang. Bila imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri menjadi besar. Namun bila kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi rendah pula. Dalam Alquran dikatakan: “apabila kamu telah selesai melaksanakan suatu pekerjaan maka bertawakallah kepada Allah”(QS.al- Imran (3): 159).
Orang yang percaya diri imannya selalu menjadi penentu, ia percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan melaksanakan atau mengelola sesuatu urusan tidak tergantung dari seberapa baik ide yang dimiliki serta seberapa besar  kemampuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan kegiatan, melaksanakan, dan mengendalikannya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan selain  karena memenuhi syarat-syarat diatas, juga harus memiliki optimisme bahwa ditangan tuhanlah semua urusan dikembalikan, berhasil atau gagal. Kepercayaan demikian itulah yang akan memunculkan penguatan-penguatan tertentu secara spiritual yang awalnya tidak disadari.
  1. Responsif
  2. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan   itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Dalam Islam, perasaan tanggap ini muncul akibat seseorang selalu menganggap bahwa semua manusia sama dihadapan Allah. Tidak ada perbedaan antara satu dengan yang lain secara prinsip baik dari segi ras, etnik, kelamin, ataupun bahasa, kecuali takwanya kepada Allah. (QS. Al-Hujurat (49): 13).
Bila orang yang tingkat taqarrub-nya kepada Allah sudah baik, maka ia akan memandang semua orang sama meskipun mereka berbeda dalam  prinsip maupun  idiologi. Apapun perbedaannya, ia selalu menyadari bahwa semua sarwa yang ada adalah ciptaan Allah termasuk manusia. Pandangan ini yang melahirkan hikmah ketidakberbedaan (undiversity wisdom) dan membuat seseorang bijaksana dalam setiap proses pengambilan keputusan.
7.      Empati
Empati sebenarnya merupakan gerbang (entry point) bagi lahirnya sikap responsif di atas. Empati merupakan sikaf serta kemampuan seseorang manajer/pemimpin memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang lain. Prinsip empati hanya dimiliki oleh para pemimpin yang tanggap terhadap lingkungannya. Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan selalu dekat dengan masyarakat, baik itu bawahan maupun orang yang dilayani. Ia akan bahagia jikalau bawahan atau pelanggannya (orang yang dilayani) menjadi bahagia, dan ia akan resah bila mereka mengalami kesulitan.
Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran “ Maka disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Al-Imran (3) : 159).
Empati adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati dan pikiran yang menyejukkan dikala berhadapan dengan setiap orang. Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat dengan bawahan, merasakan setiap denyut nadi karyawannya, lapang dalam bertindak, dan keputusannya selalu populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).
8.      Inovatif
Inovatif atau inovasi selalu beriringan dengan kreatifitas. Prinsip ini meniscayakankan bagi pemimpin membuat pembaruan-pembaruan atau penemuan-penemuan hal baru baik berupa produk, jasa, metode, kebijakan, tehnik dan seterusnya yang bisa ditawarkan kapada pengguna (User). Untuk sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan kemasan dan tampilan baru. Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku sesuai dengan perilaku (akhlak) tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah). Diantara perilaku (akhlak) tuhan itu seperti yang disebutkan dalam Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci, Maha Sejahtera dan seterusnya sampai pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24). Menurut para ulama semuanya ada 99 nama yang biasa dikenal dengan sebutan “Asmaul Husna”.
Terkait dengan 3 ayat di atas Hasan Langgulung mengomentari, bahwa dalam Islam manusia menyembah dalam pengertian umum bermakna mengembangkan sifat-sifat dimaksud menurut perintah dan petunjuk tuhan. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi suci, karena ia telah meniru sifat-sifat tuhan. Sifat-sifat itu diberikan kepada manusia dalam bentuk terbatas, sebab bila tidak manusia akan mengaku dirinya sebagai tuhan.[7]
Prinsip inovatif yang terkait dengan akhlak tuhan dalam ayat-ayat tuhan yakni al-khalik (pencipta). Pencipta dalam konteks ini bukan berarti sama persis seperti pencipta al-khalik, namun lebih merupakan daya kreasi manusia yang nisbi dalam meniru sifat-sifat tuhan yang mutlak itu.
9.      Toleran
Sikaf toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam mengelola suatu organisasi juga tidak kalah penting bila dibandingkan dengan prinsip-prinsip lain. Prinsip ini memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas koordinasi secara baik dan berkesinambungan, terutama pada setiap level manajemen yang sama. Sikaf toleran dalam banyak hal dapat memuluskan jalan diantara dua pendapat yang berbeda. Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara superior hanya mengandalkan bagian, divisi, atau unitnya yang terbaik, dan menganggap bagian, divisi, atau unit lain imperior dan tidak baik.
Didalam Alquran konstatasinya demikian “Hai orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang memperolokolok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).
Bila sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya akan dapat memperburuk hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam organisasi dapat terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf toleran, saling mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama. Organisasi bisa langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara sesama karyawan, karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga, memelihara, dan bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan diantara sesama.
Toleransi merupakan suatu sikaf positif yang mestinya harus selalu dipelihara dan dikembangkan pada setiap organisasi. Karena hanya dengan sikaf-sikaf demikian organisasi selain akan stabil juga dapat merealisasikan program-programnya secara baik dan berkelanjutan.
10.  Sederhana
Prinsip kesederhanaan merupakan suatu unsur penting yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu menempatkan posisinya ditengah-tengah orang yang ia pimpin. Maksudnya seorang pemimpin tidak sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang yang  berada pada level atas saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat dari dekat problema-problema yang terjadi pada orang-orang yang ada pada level bawah. Dengan menempatkan diri secara tepat, berarti seorang pemimpin telah menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf sederhana dalam setiap kali bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita dapat menjadi penengah yang netral, yang tidak merugikan orang lain dikala mengambil suatu keputusan.
Dalam Alquran dikatakan: “Dan kami jadikan kamu umat yang menengah, agar menjadi saksi atas manusia” (QS. Al- Baqarah (2) : 143).
Pemimpin yang menengah dalam arti sederhana baik dalam tindak maupun peri lakunya, ia akan mobile dan lebih pleksibel dalam mengelola organisasi. Pemimpin yang sederhana bisa menerima pendapat dari kalangan atas sekaligus dapat mengakomodasi keinginan-keinginan orang-orang bawah. Sikaf inilah yang ditunggu-tunggu dari pemimpin zaman sekarang.
11.  Keteladanan
Hampir disetiap organisasi terutama dinegara kita, pemimpin/manajer selalu dijadikan contoh (panutan).  Sikaf ini tidaklah berlebihan, sebab corak budaya kita bersifat pathernalistik selain itu pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang memiliki beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena itu dalam beberapa lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan beberapa peranan strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik. Peranan-peranan dimaksud antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead), pemimpin (leader), penghubung (liason), juru bicara ( the spokes person), pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance handler), perunding (negotiator),[8] dan lain-lain. Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa menghormati dan menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap pemimpin, dengan tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan keadilan, serta tidak bersikaf like and dis like teristimewa dalam menilai dan mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad  saw.  sebagai rasul dan pemimpin umat oleh Alquran  dipandang sebagai pribadi yang patut dicontoh. Sebab beliau dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya secara baik dengan mengedepankan sikaf-sikaf  terpuji yang semestinya ditiru. Dalam Alquran dikatakan: “ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33): 21).
12.  Terbuka
Keterbukaan (transparan) sesungguhnya merupakan suatu sikap yang dalam manajemen modern sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu lembaga/organisasi. Masyarakat dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya relatif baik, terkadang hanya percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan seluruh kegiatannya secara berkala kepada masyarakat (stakeholder) sebagai mitra kerjanya. Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik manakala para stakeholder merespons semua kegiatan organisasi secara baik pula. Karena itu agar suatu organisasi eksis dimasyarakat  dan bisa berkompetisi secara sehat, maka seluruh pihak yang terlibat didalamnya khususnya pada level pimpinan (manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam mengelola organisasi, sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di dalam Islam, sikap transparan atau membuka (membeberkan dan memberitahukan) apa yang diketahui tentang organisasi yang dipimpinnya kepada masyarakat merupakan suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran disebutkan:”Terhadap nikmat  tuhanmu, maka hendaknya kamu sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93): 11).
Selain itu, rasul sebagai pemimpin umat disuruh untuk menyampaikan apa yang telah diperoleh agar diberikan kepada orang lain (masyarakat). “ Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari tuhanmu” (QS. al-Maidah (5): 67) menginformasikan secara transparan merupakan sikap  pertanggung jawaban rasul sebagai pemimpin. Kata Tabligh dalam ayat  diatas yang berarti menyampaikan atau menginformasikan adalah satu dari 4 (empat) sifat bagi seorang rasul (pemimpin), yakni siddiq (benar), amanah (dipercaya), fathanah (mampu), dan tabligh (menyampaikan). Bila seorang pemimpin/manajer mampu mengaplikasikan keempat sifat rasul ini, maka sesungguhnya ia telah mengadopsi prinsip-prinsip manajemen modern.








BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu melakukan tugas-tugasnya secara efektif. Pemimpin yang setiap saat me-review misinya agar selalu relevan dengan semua situasi kepemimpinannya. Pemimpin yang mampu menyesuaikan kebutuhan organisasi dengan keinginan masyarakatnya (stakeholder). Pemimpin yang berbakat mendayagunakan seluruh sumber daya dan mengembangkan talenta orang-orang yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan berkelanjutan.
Dalam Islam tertera nilai-nilai atau prinsip-prinsip yang mendasari pola-pola kepemimpinan efektif. Kepemimpinan efektif ekuivalen dengan pemimpin yang dalam melaksanakan tugasnya selalu mengedepankan nilai-nilai atau prinsip-prinsip Islam seperti;  kecerdasan, visibilitas, inisiatif, rela berkorban, tanggung jawab, percaya diri, tanggap, empati, inovatif, toleran, kesederhanaan, efektifisien, keteladanan, dan keterbukaan. Pemimpin/manajer yang mengacu akan nilai-nilai ini, ia akan mempunyai dua keistimewaan. Keistimewaan yang pertama ia disebut khalifah dan keistimewaan yang kedua ia akan disebut a’bid. Khalifah karena ia mengadopsi prinsip-prinsip kepemimpinan, dan a’bid karena ia mengimplementasikan ajaran-ajaran ketuhanan.




DAFTAR PUSTAKA
Agustian, Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Cet. VII, Jakarta: Arga, 2002
Kirana, Andy. Etika Manajemen – Ancangan Bisnis Abad – 21,  Edisi 1, Cet. I, Yogyakarta : Andi, 1997
Langgulung, Hasan.  Manusia dan Pendidikan – Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, Cet. III, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995
Manullang, M. Dasar-Dasar Manajemen, Cet. XV, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
Najati, M. Usman. Al-Hadits al- Nabawi Wa Ilmu al- Nafsi,  diterjemahkan oleh : Irfan Salim Lc dengan judul : Belajar EQ dan SQ Dari Sunnah Nabi, Cet. I, Jakarta: Al- Hikmah, 2002
Nggermanto, Agus. Quantum Quotient – Kecerdasan Quantum, Cet. IV, Bandung: Nuansa, 2002
Winardi, Azas-azas Manajemen, Cet. II, Bandung: Mandar Maju : 2000



[1] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Cet. VII, Jakarta : Arga, 2002). Hal 96
[2] M. Usman Najati, Al-Hadist al-Nabawi Wa Ilmu al- Nafsi, diterjemahkan oleh Irfan Salim Lc dengan judul: Belajar  EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, (Cet. 1, Jakarta Penerbit Al-Hikmah, 2002). Hal 6
[3] Agus Nggermanto, Quantum Quotient-Kecerdasan Quantum, (Cet.IV, Bandung : Penerbit Nuansa, 2002),  Hal 165
[4] Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, (Cet. VII, Jakarta : Arga, 2002) Hal 57

[5] Andy Kirana, Etika Manajemen-Ancangan Bisnis Abad – 21, edisi 1, (Cet. I, Yogyakarta: Penerbit Andi, 1997). Hal  61-68
[6] Winardi, Azas-Azas Manajemen, (Cet. ke-2,  Bandung: Mandar Maju,  2000. Hal  403
[7] Hasan Langgulung, Manusia Dan Pendidikan – Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Cet. III, Jakarta: Penerbit Al-Husna Zikra , 1995). Hal 5
[8] Winardi, Azas-Azas Manajemen, (Cet. ke-2,  Bandung: Mandar Maju,  2000. Hal 41-44