Tugas Mandiri Dosen
Pembimbing
Etika Kepemimpinan Islam Bpk.
Khoiruddin
“Nilai-Nilai Kepemimpinan Dalam
Islam”
Disusun Oleh:
NAMA : SUTRISNO
NIM : 11344103564
JURUSAN MANAJEMEN DAKWAH
FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF
KASIM RIAU
2015 M / 1437 H
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Kepemimpinan mengacu pada suatu proses untuk menggerakkan
sekumpulan manusia menuju ke suatu tujuan yang telah ditetapkan dengan
mendorong mereka bertindak dengan cara yang tidak memaksa. Kepemimpinan yang
baik menggerakkan manusia ke arah jangka panjang, yang betul-betul merupakan
kepentingan mereka yang terbaik. Arah tersebut bisa bersifat umum, seperti
penyebaran Islam ke seluruh dunia, atau khusus seperti mengadakan konferensi
mengenai isu tertentu. Walau bagaimanapun, cara dan hasilnya haruslah memenuhi
kepentingan terbaik orang-orang yang terlibat dalam pengertian jangka panjang
yang nyata.
Kepemimpinan adalah suatu peranan dan juga merupakan suatu proses
untuk mempengaruhi orang lain. Pemimpin adalah anggota dari suatu perkumpulan
yang diberi kedudukan tertentu dan diharapkan dapat bertindak sesuai dengan
kedudukannya. Seorang pemimpin adalah juga seorang dalam suatu perkumpulan yang
diharapkan menggunakan pengaruhnya dalam mewujudkan dan mencapai tujuan kelompok.
Pemimpin yang jujur ialah seorang yang memimpin dan bukan seorang yang
menggunakan kedudukannya untuk memimpin.
Fenomena kepemimpinan dapat dijelaskan melalui konsep-konsep dasar
berikut:
1.
Kepemimpinan
adalah suatu daya yang mengalir dengan cara yang tidak diketahui antara
pemimpin dengan pengikutnya, mendorong para pengikut supaya mengerahkan tenaga
secara teratur menuju sasaran yang dirumuskan bersama. Bekerja menuju sasaran
dan pencapaiannya memberikan kepuasan bagi pemimpin dan pengikutnya.
2.
Kepemimpinan
juga mewarnai dan diwarnai oleh media, lingkungan, dan iklim di mana dia
berfungsi. Kepemimpinan tidak bekerja dalam ruangan yang hampa, tetapi suasana
yang diciptakan oleh berbagai unsur.
3.
Kepemimpinan
senantiasa aktif, bisa saja berubah-ubah derajatnya, intensitasnya dan
keluasannya. Bersifat dinamis atau tidak ada.
4.
Kepemimpinan
bekerja menurut, prinsip, alat dan metode yang pasti dan tetap.
B.
Rumusan
Masalah
Apa Saja
Nila-nilai kepemimpinan Didalam Islam yang Mencakup Prinsip-prinsip Etika yang Harus
Dilaksanakan oleh Seorang Pemimpin dalam Kepemimpinannya
C.
Tujuan
Masalah
Untuk Mengetahui Nila-nilai Islam Apa yang Harus
ditanamkan Didalam Kepemimpinan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Nilai-nilai
Kepemimpinan dalam Islam
Dalam literatur-literatur manajemen banyak
dibentangkan prinsip-prinsip pokok yang mendasari perilaku keseharian dari para
pemimpin yang dipandang sukses dalam me-manage organisasi mereka.
Prinsip-prinsip itu antara lain seperti; seorang pemimpin harus cerdas,
memiliki visi yang jelas, penuh inisiatif, rela berkorban, bertanggung jawab,
percaya diri, tanggap, empati, inovatif, toleran, sederhana, dan seterusnya.
Di dalam Islam, prinsip-prinsip ini sangat dianjurkan
untuk dimiliki setiap muslim. Sebab tanpa prinsip-prinsip tersebut, umat islam
tidak bisa menjadi wakil tuhan (khalifah) untuk mengelola alam
jagad ini secara baik, sekaligus tidak dapat menjadi hamba (a’bid) yang
muttaqin. Kedua predikat itu (khalifah dan a’bid) tidak
dapat diraih oleh seorang muslim kecuali mereka yang memiliki prinsip-prinsip
tersebut. Didalam Islam Nilai/prinsip-prinsip itu dapat kita temukan, baik
secara tersurat maupun secara tersirat termaktub dalam ayat-ayat Alquran dan
hadis. Nilai/prinsip yang termaktub dalam ayat-ayat dan hadis itu antara
lain sebagai berikut:
- Cerdas
Cerdas atau mampu merupakan suatu prinsip/nilai yang
dalam Islam menempati posisi yang sangat penting sekaligus mendapat apresiasi
yang sangat tinggi. Prinsip ini demikian penting dan tinggi karena urgensinya
secara fundamental meliputi semua ranah kehidupan manusia. Manusia tidak akan
sukses meraih apa yang ia inginkan manakala ia tidak cerdas dan mampu
mengelolanya secara baik.
Dalam Alquran ayat yang mengisyaratkan nilai/prinsip itu, antara lain
sebagai berikut:
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
فَانْفُذُوا لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ (33)
Artinya :
“Wahai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya
melainkan dengan kekuatan”(QS. Al-Rahman (55): 33).
Ayat diatas mengingatkan manusia bahwa apa saja yang
dipikirkan dan dibayangkan dalam bentuk visi dan misi semuanya bisa menjadi
kenyataan, asalkan manusia memiliki sulthan (kekuatan/kemampuan).
Kemampuan merupakan kriteria dasar bagi setiap pemimpin dalam mengelola serta
mengembangkan organisasi/institusi. Kemampuan oleh para ahli dapat
diklasifikasi menjadi 3 (tiga) jenis.[1]
Kemampuan intelektual, kemampuan emosional, dan kemampuan spiritual. Ketiga
kemampuan ini harus dimiliki oleh setiap pemimpin di setiap level kepemimpinan.
Ia harus mempunyai akal dan pikiran yang cerdas, karena dengan itu ia bisa
merencanakan, mengorganisir, dan mengendalikan organisasi secara rasional,
tidak menghayal dan membabi buta dalam membuat police atau kebijakan. Dengan
berfikir rasional, seorang pemimpin dapat membuat prediksi-prediksi yang visible,
sehingga dapat dijadikan dasar dalam bertindak.
Mengandalkan kemampuan intelektual saja bagi seorang
pemimpin/manajer tidak akan cukup untuk membawa lembaga/organisasi mencapai
kesuksesan. Mengapa demikian ?. Hal ini disebabkan suatu kesuksesan yang
diperoleh bukan sekedar karena manajer atau pemimpin mampu menata serta
mengembangkan aspek-aspek organisasi tertentu secara rasional, seperti membuat
prediksi, ramalan-ramalan, dan prakiraan-prakiraan. Namun lebih dari itu, ada
aspek-aspek organisasional tertentu yang membutuhkan penanganan dengan sentuhan-sentuhan
emosi, seperti memotivasi bawahan/karyawan, memunculkan rasa memiliki dan rasa
bertanggung jawab terhadap organisasi (sens of belonging and sens of
responsibility), membuat kebijakan-kebijakan simpatik, baik terhadap
anggota organisasi maupun bagi masyarakat lingkungan sebagai stakeholder.
Banyak pemimpin yang gagal mengeksplorasi aspek-aspek emosi ini, yang kemudian
berakibat pada demonstrasi dan unjuk rasa karyawan yang tidak menguntungkan
bahkan berakibat fatal bagi keberadaan serta keberlangsungan organisasi. Semua
manajer/pemimpin tidak menghendaki kejadian seperti itu terjadi dan dialami
organisasi yang mereka pimpin, jika saja mereka mau mengembangkan kemampuan
atau kecerdasan emosionalnya bersamaan dengan kemampuan intelektual dalam
kepemimpinan mereka.
Sama halnya dengan kemampuan spiritual, sebahagian
orang sangat menaruh harapan besar terhadap kemampuan ini. Bahwa bila sikap
spiritual seseorang muncul, seperti senantiasa mendekatkan diri kepada tuhan,
selalu bertawakal kepada-Nya, bertindak dan berbuat karena tuhan, menganggap
semua sarwa yang ada adalah milik tuhan serta sadar bahwa pada saatnya
nanti semua pekerjaan yang dilakukan pasti akan dimintai pertanggung
jawabannya kelak dihadapan tuhan. Kesadaran seperti ini dapat memunculkan
perilaku yang positif, seperti berprasangka baik, selalu berbuat yang terbaik,
optimis, rela berkorban, iklas dalam menjalankan tugas, kesederhanaan, arif
dalam bertindak, humanis, memiliki komitmen yang tinggi, menghargai orang lain,
dan seterusnya. Sikap-sikap ini merupakan representasi dari kualitas iman yang
dimiliki seseorang.
Orang yang beriman atau kemampuan spiritualnya baik,
senantiasa merasa berkewajiban untuk mengawal dirinya dari pekerjaan-pekerjaan
yang tidak berguna, apalagi yang bertentangan dengan pesan-pesan agama. Mereka
beranggapan bahwa pekerjaan-pekerjaan demikian dapat menjauhkan dirinya dari
rahmat dan kasih sayang tuhan. Karena itu, kecerdasan spirituallah yang harus
memberi arah (visi) bagi kecerdasan intelektual dan emosional seseorang.
Jarang orang mempunyai kemampuan/kecerdasan emosional dapat mendorong lahirnya
kemampuan/kecerdasan spiritual yang baik. Meskipun begitu, kemampuan spiritual
tidak bisa mewakili kemampuan emosional, sebab ada perilaku emosional tertentu
seperti kemampuan menjalin hubungan, mampu berkomunikasi secara baik, dan
kemampuan memotivasi, tidak sepenuhnya akan diperoleh secara baik dari
kemampuan spiritual.
Mengandalkan kecerdasan emosional saja tidaklah cukup,
khususnya bagi perkembangan kejiwaan yang berdimensi ketuhanan. Sebab
kecerdasan ini lebih berpusat hanya pada rekonstruksi hubungan yang bersifat
horizontal (sosial), sementara ada dimensi lain yang tidak kalah penting bagi
manusia yang bersifat vertikal. Kemampuan dalam membangun hubungan vertikal inilah
yang sering dikenal dengan istilah kecerdasan spiritual (spiritual quotient).[2]
Dalam Alquran dikatakan: “kamu akan ditimpa kehinaan dimana saja kamu
berada, kecuali kamu menjalin hubungan secara Vertikal dengan Allah dan
hubungan horizontal dengan sesama manusia”. (QS. Al-Imran (3): 112).
Oleh karena itu, kemampuan intelektual, kemampuan
emosional, dan kemampuan spiritual secara simultan harus dimiliki seorang
pemimpin, karena ketiga bentuk kemampuan/kecerdasan ini saling mendukung dan
melengkapi dalam proses keberhasilan dan kesuksesan seseorang membawa
organisasi mencapai tujuan.
Penelitian menunjukkan menurut Agus Ngermanto, bahwa
persentase kemampuan kognitif murni (intelektual) yang membuat unggul
orang-orang dengan kinerja terbaik hanya mencapai 27 persen, sementara
keunggulan emosi mencapai 53 persen.[3]
Artinya kecakapan emosional sumbangannya dua kali lipat energinya dari
kecakapan intelektual. Sehingga keunggulan dan keberhasilan seorang manajer
atau pemimpin 80 persen ditentukan oleh emosi serta kognitifnya. Bila demikian,
berarti keberhasilan pekerjaan seseorang yang bintang kinerja baru mencapai
titik angka 80. Untuk memenuhi titik sempurna 100 persen mungkin saja harus
ditambah dengan kecakapan spiritual sebagaimana disebutkan diatas.
Tiga kemampuan ini berada pada otak manusia, seperti Neocortex
(otak rasional) dan Sistem Limbic (otak emosional), serta
eksistensi God–Spot(pusat spiritual) yang baru ditemukan tahun
1997 oleh ahli syaraf V.S. Ramachandran dan timnya dari California University.[4]
Keberdayaan tiga potensi otak ini secara baik dapat melahirkan manajer
atau pemimpin-pemimpin yang efektif.
2. Visioner
Visi merupakan konsep imajinasi seseorang atau
beberapa orang pemimpin tentang masa depan dari suatu organisas/lembaga yang
dipimpin. Akan seperti apakah lembaga yang dipimpinnya dimasa yang akan datang.
Karena itu, kewajiban utama seorang pemimpin/manajer adalah bagaimana
memperjuangkan serta mempertahankan visinya agar bisa tercapai. Kemampuan
mempertahankan serta memperjuangkan visi ini sama seperti dalam Islam,
seseorang yang telah berikrar beriman hanya kepada Allah tidak kepada
selain-Nya (laa ilaha illallah), tanpa mengenal ruang dan waktu. Dimana
dan kapan saja iman ini harus tetap menjadi landasan semua aktivitas. Iman
merupakan visi yang senantiasa harus dipertahankan dan diperjuangkan. Iman yang
benar dan kokoh akan menjadi dasar untuk menggapai kebahagiaan (keberhasilan).
Seseorang yang beriman hanya kepada Allah tidak akan mudah terpengaruh pada
kepentingan-kepentingan sesaat (vested interest) yang menggiurkan
namun berdemensi pendek. Seperti dilansir pada QS. An-Nisaa’(4): 137 (innallazina
a’manuu tsumma kafaruu, tsumma a’manuu tsumma kafaruu tsumma zdadu
kufran). Ia beriman kepada Allah kemudian ingkar (tidak commmitted
dengan visinya), beriman lagi, kemudian kafir lagi, sehingga komitmennya
mengalami proses degradasi dan berakhir dengan penyimpangan dari substansi visi
yang ia emban. Komitmen seperti ini merupakan awal dari sebuah kehancuran.
Dalam Alquran dikatakan: Sesungguhnya orang-orang yang berkata
(berprinsip/mempunyai visi) bahwa tuhan pemelihara kami adalah Allah, kemudian
istiqamah (committed) dengan prinsip (visi) itu akan turun kepada mereka
malaikat dengan berkata) janganlah takut, jangan bersedih, berbahagialah kalian
dengan syurga yang dijanjikan” (QS. Fushshilat (41): 30).
Pemimpin yang baik harus memiliki visi yang baik dan
menunjukkan komitmennya (visioner) sebagaimana Islam menuntut agar
umatnya harus beriman kepada Allah dengan iman yang benar “mukhlishina
lahuddin al-hunafa’a” (QS. Bayyinah (98): 5). Karena dengan demikian ia
akan sampai kepada apa yang dicita-citakan.
3. Inisiatif
Inisiatif merupakan salah satu prinsip penting yang
harus dimiliki oleh pemimpin/manajer. Pemimpin yang tidak memiliki inisiatif akan
membuat organisasi menjadi mandek serta tidak berkembang apalagi ingin ada
perubahan, harapan agar organisasi bertumbuh sesuai dengan perkembangan tidak
akan tercapai, sekalipun lingkungan (stakeholder) menghendaki.
Prinsip ini bermula dari pemimpin/manajer tidak
mempunyai gagasan terkait dengan tuntutan serta perkembangan situasi dalam
mengantisipasi perubahan dan laju perkembangan lingkungan . Dalam Alquran Allah
mengatakan: “Apabila kamu telah usai (melakukan suatu tugas), maka
kerjakanlah dengan sungguh-sungguh tugas/pekerjaan)berikutnya”. (QS.
Al-Insyirah (94): 7).
Ayat ini mengisyaratkan prinsip inisiatif, bahwa
seorang pemimpin tidak boleh hanya terjebak dalam satu tugas rutinitas saja
yang menyita hampir semua waktu/masa tugasnya. Pemimpin/manajer yang efektif
harus mampu memunculkan inisiatifnya dalam mendorong dan mengembangkan
organisasi yang dipimpinnya sehingga dapat bersaing dan berkompetisi dengan
organisasi sejenis dalam lingkungan kompetetifnya. Dengan memiliki kemampuan
demikian, lembaga/organisasi yang dipimpinnya tidak akan tertinggal dalam
merespons tuntutan perkembangan.
4. Rela
Berkorban
Manajer/pemimpin yang baik/efektif senantiasa harus
mengedepankan sikaf rela berkorban. Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu
memberi harapan bagi lingkungannya bahwa ia dan organisasinya akan tetap
menjalankan kewajiban-kewajibannya serta memenuhi hak-hak, baik itu
hak-hak bawahan/karyawan, hak mereka yang dilayani (pelanggan) maupun
hak-hak sosial sebagai bentuk komitmen menyeluruh atas keberpihakannya terhadap
lingkungan organisasi. Tipe kepemimpinan seperti ini oleh Andy Kirana disebut kepemimpinan
etis.[5]
Pemimpin yang beretika selalu menampilkan i’tikad baik
dan tidak serakah dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki.
Kualitas kepemimpinannya membuat bawahan atau pengikutnya senang dan menaruh
harapan masa depan. Pemimpin dengan kepribadian seperti ini tidak akan tertipu
dengan kewenangan dan kekuasaan yang diberikan kepadanya. Bahkan ia akan rela
mengorbankan apa yang dimilikinya sekalipun nyawa taruhannya.
Prinsip ini banyak menghiasi hidup keseharian
Rasulullah saw. serta para sahabatnya. Mereka selalu rela mengorbankan apa yang
ada pada diri mereka, sekalipun apa yang diberikan itu sesuatu yang sangat
mereka senangi. Manajer/pemimpin demikian selalu memandang bahwa hidup ini
adalah perjuangan dan pengabdian. Dalam Alquran Allah berfirman “wa jaahidu
bi amwaalikum wa anfusikum fi sabilillah” (Berjuanglah dengan harta dan
dirimu dijalan Allah)(QS At-Taubah (9) :41).
5. Bertanggung
Jawab
Bertanggung jawab merupakan prinsip yang melekat pada
diri seorang manajer/pimpinan setelah ia memangku suatu jabatan. Pimpinan yang
tidak bertanggung jawab berarti ia tidak menjalankan satu syarat penting
sebagai manajer/pimpinan, yaitu melaksanakan proses pelimpahan wewenang dari
atasan /pimpinan yang lebih tinggi. Pelimpahan wewenang (delegasi) terdiri dari
tiga unsur yaitu; kewenangan (authority), tugas/tanggung jawab (responsibility),
dan pertanggung jawaban (accountability).[6]
Dalam sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar,
Rasulullah bersabda ”setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan
bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya” ( Riwayat Bukhari
dan Muslim). Jadi seorang manajer/pemimpin harus menjalankan prinsip ini untuk
memberikan pertanggung jawabannya, baik itu bertanggung jawab (memberi laporan)
kepada atasannya maupun bertanggung jawab terhadap bawahan, masyarakat,
pemerintah (stakeholder), lebih-lebih kepada Allah-tuhan pencipta alam
semesta.
6. Percaya Diri
Percaya diri merupakan prinsip yang harus dimiliki
pemimpin setelah memiliki inisiatif. Bila pemimpin tidak percaya diri
maka inisiatifnya tidak bakal terlaksana. Ia tidak yakin akan kemampuan
dirinya, sekalipun kapasitasnya sebagai pemimpin. Visi/ide-idenya akan
tenggelam dalam bayang-bayang ketidakpercayaan dirinya.
Prinsip percaya diri sangat terkait dengan sejauh mana
seorang pemimpin merasa pahit getirnya. Atau dengan kata lain seberapa besar
pengalaman yang dimiliki dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan/manajerial
dan kemasyarakatan. Dengan mengalami serta menjalankan tugas-tugasnya secara
langsung, ia akan melakukan proses trial and error. Karena
itu seorang manajer/pemimpin selain harus memiliki segudang pengalaman juga
harus menimbulkan rasa percaya diri (self confidence) yang tinggi dalam
merealisasikan visi/misi (ide-ide) yang dimiliki.
Dalam Islam, percaya diri sangat berhubungan dengan
kadar iman seseorang. Bila imannya kepada Allah tinggi, maka rasa percaya diri
menjadi besar. Namun bila kadar imannya rendah, maka percaya dirinyapun menjadi
rendah pula. Dalam Alquran dikatakan: “apabila kamu telah selesai
melaksanakan suatu pekerjaan maka bertawakallah kepada Allah”(QS.al- Imran
(3): 159).
Orang yang percaya diri imannya selalu menjadi penentu,
ia percaya bahwa kesuksesan dan kegagalan melaksanakan atau mengelola sesuatu
urusan tidak tergantung dari seberapa baik ide yang dimiliki serta seberapa
besar kemampuan dan ketrampilan dalam membuat perencanaan kegiatan,
melaksanakan, dan mengendalikannya. Tetapi keberhasilan dan kegagalan
selain karena memenuhi syarat-syarat diatas, juga harus memiliki
optimisme bahwa ditangan tuhanlah semua urusan dikembalikan, berhasil atau
gagal. Kepercayaan demikian itulah yang akan memunculkan penguatan-penguatan
tertentu secara spiritual yang awalnya tidak disadari.
- Responsif
- Pemimpin yang memiliki prinsip ini selalu merasa bahwa semua orang pasti mempunyai kebutuhan. Kebutuhan yang diharapkan manusia itu ada yang sama dan ada pula yang tidak sama. Pemimpin/manajer yang baik pasti selalu berusaha untuk mengetahui kebutuhan orang lain, baik itu kebutuhan bawahan maupun kebutuhan orang yang dilayani (pelanggan) dan berusaha sedapat mungkin agar dapat merealisasikannya. Proses dimana seorang manajer/ pemimpin berusaha mengetahui dan merealisasikan kebutuhan bawahan maupun kebutuhan pelanggan itulah biasanya disebut responsif (tanggapa).
Dalam Islam, perasaan tanggap ini muncul akibat
seseorang selalu menganggap bahwa semua manusia sama dihadapan Allah. Tidak ada
perbedaan antara satu dengan yang lain secara prinsip baik dari segi ras,
etnik, kelamin, ataupun bahasa, kecuali takwanya kepada Allah. (QS. Al-Hujurat
(49): 13).
Bila orang yang tingkat taqarrub-nya kepada
Allah sudah baik, maka ia akan memandang semua orang sama meskipun mereka
berbeda dalam prinsip maupun idiologi. Apapun perbedaannya, ia
selalu menyadari bahwa semua sarwa yang ada adalah ciptaan Allah termasuk
manusia. Pandangan ini yang melahirkan hikmah ketidakberbedaan (undiversity
wisdom) dan membuat seseorang bijaksana dalam setiap proses pengambilan
keputusan.
7. Empati
Empati sebenarnya merupakan gerbang (entry point)
bagi lahirnya sikap responsif di atas. Empati merupakan sikaf serta kemampuan
seseorang manajer/pemimpin memahami dan merasakan apa yang dirasakan orang
lain. Prinsip empati hanya dimiliki oleh para pemimpin yang tanggap terhadap
lingkungannya. Pemimpin yang memiliki prinsip ini akan selalu dekat dengan
masyarakat, baik itu bawahan maupun orang yang dilayani. Ia akan bahagia jikalau
bawahan atau pelanggannya (orang yang dilayani) menjadi bahagia, dan ia akan
resah bila mereka mengalami kesulitan.
Sikap seperti ini disinyalir dalam Alquran “ Maka
disebabkan rahmat dari Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikaf keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka dan musyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. (QS.
Al-Imran (3) : 159).
Empati adalah anugerah dari Allah berupa bisikan hati
dan pikiran yang menyejukkan dikala berhadapan dengan setiap orang.
Manajer/pemimpin yang empati selalu dekat dengan bawahan, merasakan setiap
denyut nadi karyawannya, lapang dalam bertindak, dan keputusannya selalu
populis dan tidak tergesa-gesa (bijaksana).
8. Inovatif
Inovatif atau inovasi selalu beriringan dengan
kreatifitas. Prinsip ini meniscayakankan bagi pemimpin membuat
pembaruan-pembaruan atau penemuan-penemuan hal baru baik berupa produk, jasa,
metode, kebijakan, tehnik dan seterusnya yang bisa ditawarkan kapada pengguna (User).
Untuk sampai pada taraf ini, seorang pemimpin harus cerdas terutama dari sisi
intelektual. Karena seseorang yang secara intelek mampu, ia dapat menciptakan
sesuatu yang baru atau mampu mendisain sesuatu yang lama (merekayasa) dengan
kemasan dan tampilan baru. Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk berperilaku
sesuai dengan perilaku (akhlak) tuhan (takhallaqu bi akhlaqillah).
Diantara perilaku (akhlak) tuhan itu seperti yang disebutkan dalam
Alquran yakni Maha Mengetahui, Maha Pemurah, Maha Penyayang, Raja, Maha Suci,
Maha Sejahtera dan seterusnya sampai pada Maha Pencipta, Maha Perkasa dan Maha
Bijaksana (QS. Al-Hasyr (59): 22-24). Menurut para ulama semuanya ada 99 nama
yang biasa dikenal dengan sebutan “Asmaul Husna”.
Terkait dengan 3 ayat di atas Hasan Langgulung
mengomentari, bahwa dalam Islam manusia menyembah dalam pengertian umum
bermakna mengembangkan sifat-sifat dimaksud menurut perintah dan petunjuk
tuhan. Dengan berbuat demikian, manusia menjadi suci, karena ia telah meniru
sifat-sifat tuhan. Sifat-sifat itu diberikan kepada manusia dalam bentuk
terbatas, sebab bila tidak manusia akan mengaku dirinya sebagai tuhan.[7]
Prinsip inovatif yang terkait dengan akhlak tuhan
dalam ayat-ayat tuhan yakni al-khalik (pencipta). Pencipta dalam konteks
ini bukan berarti sama persis seperti pencipta al-khalik, namun lebih
merupakan daya kreasi manusia yang nisbi dalam meniru sifat-sifat tuhan yang
mutlak itu.
9. Toleran
Sikaf toleransi bagi seorang manajer/pemimpin dalam
mengelola suatu organisasi juga tidak kalah penting bila dibandingkan dengan
prinsip-prinsip lain. Prinsip ini memungkinkan pemimpin melakukan tugas-tugas
koordinasi secara baik dan berkesinambungan, terutama pada setiap level
manajemen yang sama. Sikaf toleran dalam banyak hal dapat memuluskan jalan
diantara dua pendapat yang berbeda. Sering pimpinan bagian/divisi/unit secara
superior hanya mengandalkan bagian, divisi, atau unitnya yang terbaik, dan
menganggap bagian, divisi, atau unit lain imperior dan tidak baik.
Didalam Alquran konstatasinya demikian “Hai
orang-orang yang beriman Janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang
lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olok lebih baik dari yang
memperolok–olok” (QS. Al- Hujurat (49) : 11).
Bila sikaf atau prinsip ini tumbuh, maka dampaknya
akan dapat memperburuk hubungan-hubungan kerja. Hubungan diantara sesama dalam
organisasi dapat terbina dengan baik, manakala semua pihak bisa bersikaf
toleran, saling mendukung, serta dapat mengabaikan kelemahan-kelemahan sesama.
Organisasi bisa langgeng dan berkinerja secara maksimal, bilamana diantara
sesama karyawan, karyawan dan pemimpin, maupun sebaliknya bisa saling menjaga,
memelihara, dan bertenggang rasa. Bahkan lebih dari itu saling memberi pertolongan
diantara sesama.
Toleransi merupakan suatu sikaf positif yang mestinya
harus selalu dipelihara dan dikembangkan pada setiap organisasi. Karena hanya
dengan sikaf-sikaf demikian organisasi selain akan stabil juga dapat
merealisasikan program-programnya secara baik dan berkelanjutan.
10. Sederhana
Prinsip kesederhanaan merupakan suatu unsur penting
yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin. Pemimpin yang baik adalah pemimpin
yang mampu menempatkan posisinya ditengah-tengah orang yang ia pimpin.
Maksudnya seorang pemimpin tidak sewajarnya hanya dekat dengan orang-orang
yang berada pada level atas saja, tapi juga bisa mendengar dan melihat
dari dekat problema-problema yang terjadi pada orang-orang yang ada pada level
bawah. Dengan menempatkan diri secara tepat, berarti seorang pemimpin telah
menunjukkan sikaf kesederhanaan.
Dalam Islam, umatnya dianjurkan untuk selalu bersikaf
sederhana dalam setiap kali bertindak, karena hanya dengan kesederhanaan kita
dapat menjadi penengah yang netral, yang tidak merugikan orang lain dikala
mengambil suatu keputusan.
Dalam Alquran dikatakan: “Dan kami jadikan kamu
umat yang menengah, agar menjadi saksi atas manusia” (QS. Al- Baqarah (2) :
143).
Pemimpin yang menengah dalam arti sederhana baik dalam
tindak maupun peri lakunya, ia akan mobile dan lebih pleksibel dalam
mengelola organisasi. Pemimpin yang sederhana bisa menerima pendapat dari
kalangan atas sekaligus dapat mengakomodasi keinginan-keinginan orang-orang
bawah. Sikaf inilah yang ditunggu-tunggu dari pemimpin zaman sekarang.
11. Keteladanan
Hampir disetiap organisasi terutama dinegara kita,
pemimpin/manajer selalu dijadikan contoh (panutan). Sikaf ini tidaklah
berlebihan, sebab corak budaya kita bersifat pathernalistik selain itu
pemimpin/manajer dianggap sebagai orang yang memiliki beberapa kelebihan bila
dibandingkan dengan mereka (bawahan). Karena itu dalam beberapa
lembaga/organisasi, para pemimpin/manajer biasanya melakukan beberapa peranan
strategis sehingga mereka selalu diapresiasi secara baik. Peranan-peranan dimaksud
antara lain seperti; bertindak sebagai tokoh (figurhead), pemimpin (leader),
penghubung (liason), juru bicara ( the spokes person),
pihak yang menyelesaikan gangguan (turbulance handler), perunding
(negotiator),[8]
dan lain-lain. Peranan-peranan itu menghendaki para bawahan senantiasa
menghormati dan menghargai setiap langkah dan kebijakan yang diambil setiap
pemimpin, dengan tetap mengedepankan azas-azas kebersamaan, kejujuran, dan
keadilan, serta tidak bersikaf like and dis like teristimewa dalam
menilai dan mendistribusikan tugas dan tanggung jawab.
Di dalam Islam, Nabi Muhammad saw. sebagai
rasul dan pemimpin umat oleh Alquran dipandang sebagai pribadi yang patut
dicontoh. Sebab beliau dianggap telah sukses dalam menjalankan tugas-tugasnya
secara baik dengan mengedepankan sikaf-sikaf terpuji yang semestinya
ditiru. Dalam Alquran dikatakan: “ Sungguh telah ada pada diri Rasulullah
itu teladan yang baik bagimu”(QS. Al-Ahzab (33): 21).
12. Terbuka
Keterbukaan (transparan) sesungguhnya merupakan suatu
sikap yang dalam manajemen modern sangat dianjurkan keberadaannya dalam suatu
lembaga/organisasi. Masyarakat dewasa ini terutama mereka yang pendidikannya
relatif baik, terkadang hanya percaya pada organisasi yang terbuka melaporkan
seluruh kegiatannya secara berkala kepada masyarakat (stakeholder)
sebagai mitra kerjanya. Organisasi akan berkinerja dan berkembang dengan baik
manakala para stakeholder merespons semua kegiatan organisasi secara
baik pula. Karena itu agar suatu organisasi eksis dimasyarakat dan bisa
berkompetisi secara sehat, maka seluruh pihak yang terlibat didalamnya
khususnya pada level pimpinan (manajemen) harus dapat bersikap transparan dalam
mengelola organisasi, sehingga kredibilitas lembaga tetap terjaga.
Di dalam Islam, sikap transparan atau membuka
(membeberkan dan memberitahukan) apa yang diketahui tentang organisasi yang
dipimpinnya kepada masyarakat merupakan suatu sikap yang terpuji. Dalam Alquran
disebutkan:”Terhadap nikmat tuhanmu, maka hendaknya kamu
sebut-sebutkan (informasikan)” (QS. Adh-Dhuhaa (93): 11).
Selain itu, rasul sebagai pemimpin umat disuruh untuk
menyampaikan apa yang telah diperoleh agar diberikan kepada orang lain
(masyarakat). “ Wahai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari
tuhanmu” (QS. al-Maidah (5): 67) menginformasikan secara transparan
merupakan sikap pertanggung jawaban rasul sebagai pemimpin. Kata Tabligh
dalam ayat diatas yang berarti menyampaikan atau menginformasikan
adalah satu dari 4 (empat) sifat bagi seorang rasul (pemimpin), yakni siddiq
(benar), amanah (dipercaya), fathanah (mampu), dan tabligh
(menyampaikan). Bila seorang pemimpin/manajer mampu mengaplikasikan keempat
sifat rasul ini, maka sesungguhnya ia telah mengadopsi prinsip-prinsip manajemen
modern.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang mampu
melakukan tugas-tugasnya secara efektif. Pemimpin yang setiap saat me-review
misinya agar selalu relevan dengan semua situasi kepemimpinannya. Pemimpin yang
mampu menyesuaikan kebutuhan organisasi dengan keinginan masyarakatnya (stakeholder).
Pemimpin yang berbakat mendayagunakan seluruh sumber daya dan mengembangkan
talenta orang-orang yang ada dalam organisasi untuk mencapai tujuan
berkelanjutan.
Dalam Islam tertera nilai-nilai atau prinsip-prinsip
yang mendasari pola-pola kepemimpinan efektif. Kepemimpinan efektif ekuivalen
dengan pemimpin yang dalam melaksanakan tugasnya selalu mengedepankan
nilai-nilai atau prinsip-prinsip Islam seperti; kecerdasan, visibilitas,
inisiatif, rela berkorban, tanggung jawab, percaya diri, tanggap, empati,
inovatif, toleran, kesederhanaan, efektifisien, keteladanan, dan keterbukaan.
Pemimpin/manajer yang mengacu akan nilai-nilai ini, ia akan mempunyai dua
keistimewaan. Keistimewaan yang pertama ia disebut khalifah dan
keistimewaan yang kedua ia akan disebut a’bid. Khalifah karena ia
mengadopsi prinsip-prinsip kepemimpinan, dan a’bid karena ia mengimplementasikan
ajaran-ajaran ketuhanan.
DAFTAR PUSTAKA
Agustian,
Ary Ginanjar. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual
Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Cet. VII, Jakarta: Arga, 2002
Kirana,
Andy. Etika Manajemen – Ancangan Bisnis Abad – 21, Edisi 1, Cet.
I, Yogyakarta : Andi, 1997
Langgulung,
Hasan. Manusia dan Pendidikan – Suatu Analisa Psikologi dan
Pendidikan, Cet. III, Jakarta: Al-Husna Zikra, 1995
Manullang,
M. Dasar-Dasar Manajemen, Cet. XV, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996
Najati, M.
Usman. Al-Hadits al- Nabawi Wa Ilmu al- Nafsi, diterjemahkan oleh
: Irfan Salim Lc dengan judul : Belajar EQ dan SQ Dari Sunnah Nabi, Cet.
I, Jakarta: Al- Hikmah, 2002
Nggermanto,
Agus. Quantum Quotient – Kecerdasan Quantum, Cet. IV, Bandung: Nuansa,
2002
Winardi, Azas-azas
Manajemen, Cet. II, Bandung: Mandar Maju : 2000
[1] Ary Ginanjar Agustian,
Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun
Iman dan 5 Rukun Islam, (Cet. VII, Jakarta : Arga, 2002). Hal 96
[2] M. Usman Najati,
Al-Hadist al-Nabawi Wa Ilmu al- Nafsi, diterjemahkan oleh Irfan Salim Lc
dengan judul: Belajar EQ dan SQ dari Sunnah Nabi, (Cet. 1, Jakarta
Penerbit Al-Hikmah, 2002). Hal 6
[3] Agus Nggermanto, Quantum
Quotient-Kecerdasan Quantum, (Cet.IV, Bandung : Penerbit Nuansa,
2002), Hal 165
[4] Ary Ginanjar Agustian,
Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan 6 Rukun
Iman dan 5 Rukun Islam, (Cet. VII, Jakarta : Arga, 2002) Hal 57
[5] Andy Kirana, Etika
Manajemen-Ancangan Bisnis Abad – 21, edisi 1, (Cet. I, Yogyakarta: Penerbit
Andi, 1997). Hal 61-68
[7] Hasan Langgulung, Manusia
Dan Pendidikan – Suatu Analisa Psikologi dan Pendidikan, (Cet. III,
Jakarta: Penerbit Al-Husna Zikra , 1995). Hal 5